Wakaf untuk Keadilan Sosial
(Oleh : Kasau, S.Th.I )
Disajikan
pada Konsultasi kelompok Sasaran
Wakaf
adalah instrumen dalam mewujudkan masyarakat sejahtera,
adil dan selaras, menjadi kepedulian para pengelola lembaga wakaf di Indonesia.
Mayoritas setuju dengan upaya melakukan penanganan ketidakadilan sosial melalui
perubahan sistem sosial, ekonomi dan politik yang tidak adil. Berbagai
persoalan bangsa seperti kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan pendidikan
yang rendah, masih menjadi persoalan yang rumit untuk diselesaikan. Dengan
mengatasi berbagai persoalan sosial sampai ke akarnya, perubahan sistem dan
struktur sosial yang tidak adil, menjadi harapan baru untuk mewujudkan keadilan
dan kesejahteraan yang dicita-citakan. Namun, tentu saja, hal ini tidak mudah
mengingat penyelesaian ketidakadilan sosial juga membutuhkan kerjasama dari
berbagai elemen masyarakat, utamanya negara dan pasar agar mereka adil dalam
mendistribusikan segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Lembaga wakaf, utamanya yang berbasis organisasi dan
badan hukum, bisa menjadi salah satu lembaga masyarakat sipil alternatif yang
bergandengan tangan dengan organisasi masyarakat sipil lainnya dalam
menyelesaikan persoalan bangsa. Harapan ini amat wajar dialamatkan kepada
lembaga wakaf, mengingat ia merupakan lembaga endownment masyarakat
Muslim yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dari generasi ke
generasi.
Menurut hasil penelitian ini, aset nasional ekonomi
wakaf sangat besar, mencapai 590 Triliun jika dilihat dari angka rata-rata aset
lembaga wakaf dikalikan dengan jumlah lokasi wakaf (data Depag tahun 2003).
Dengan aset sebesar ini, idealnya, wakaf bisa diberdayakan untuk membiayai pembangunan
masyarakat melalui berbagai kegiatan produktif yang dikembangkannya.
Membiayai berbagai upaya keadilan sosial melalui wakaf
amat mungkin dilakukan, baik dalam level yang paling sederhana seperti memenuhi
kebutuhan dasar maupun upaya lain seperti perbaikan kehidupan masyarakat
miskin, peningkatan partisipasi publik, dan pembuatan kebijakan yang memihak
golongan lemah. Pada tingkat persepsi, masyarakat pengelola wakaf optimis
inisiatif-inisiatif keadilan tersebut bisa dilakukan. Namun, dalam praktiknya,
jangankan untuk membiayai persoalan peningkatan partisipasi publik dan
pembuatan kebijakan, pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial saja masih sangat
jarang dilakukan. Survey ini menemukan bahwa hasil wakaf yang disalurkan untuk
orang miskin, anak yatim, dan orang-orang lemah lainnya seperti orang jompo,
janda, dan lain-lain, tidak lebih dari 30 %. Begitu pula, hasil wakaf yang
diberikan untuk kepentingan organisasi masyarakat kurang dari 10 %.
Sangat kecilnya angka peruntukan hasil wakaf bagi
pencapaian kesejahteraan dan keadilan dapat dimaklumi mengingat mayoritas harta
wakaf (tanah) dimanfaatkan untuk pembangungan keagamaan yaitu masjid dan
pengembangan lembaga pendidikan seperti madrasah, pesantren dan sekolah.
Sedangkan pemanfaatan harta wakaf untuk sarana sosial seperti rumah sakit dan
panti asuhan, serta sarana umum seperti jalan, sumur, jembatan, dan lainnya
sangat jarang dilakukan.
Tingginya fungsi wakaf untuk tujuan keagamaan di atas
memang memiliki akar sejarah yang panjang terkait penyebaran agama Islam di
nusantara dimana masjid menjadi elemen terpenting untuk pengembangan dakwah.
Dari masjid, berkembang ajaran agama Islam yang saat ini dipeluk oleh mayoritas
masyarakat Indonesia. Namun demikian, ketika Islam sudah menyebar dalam
masyarakat, bahkan bagi sebagian orang menjadi identitas utama dibandingkan
dengan identitas bangsa sekalipun, lembaga wakaf tidak beranjak dari fungsi dan
orientasi keagamaannya. Kondisi inilah yang kemudian memandulkan fungsi wakaf
sebagai daya dorong bagi kesejahteraan masyarakat karena kebanyakan orang
cenderung berwakaf untuk masjid dan kegiatan keagamaan. Ketika wakaf produktif
tidak dapat dikembangkan (hanya 23 % dari lembaga wakaf yang produktif),
akibatnya sangat jelas, tidak ada sumber dana untuk membiayai pelayanan
sosial-keagamaan yang diemban lembaga wakaf. Masjid maupun lembaga pendidikan
berbasis wakaf saat ini mayoritas (70%) mengandalkan sumbangan masyarakat
berupa zakat, infak, sedekah dan bentuk sumbangan lainnya untuk membantu biaya
operasional lembaga.
Meskipun demikian, masyarakat masih bisa berbangga
dengan berbagai lembaga wakaf yang mengelola pendidikan. Meski menyisakan
banyak persoalan, lembaga pendidikan berbasis wakaf telah eksis meningkatkan
taraf pendidikan anak bangsa. Berbagai sekolah, madrasah, dan pesantren yang
tersebar di seluruh Indonesia hadir untuk membantu pemerintah membangun sumber
daya manusia melalui jalur pendidikan. Walaupun sebagian besar lembaga
pendidikan berbasis wakaf didanai oleh masyarakat, namun ada segelintir lembaga
wakaf yang memanfaatkan hasil wakaf produktif untuk membiayai lembaganya.
Pondok Modern Gontor, misalnya, merupakan satu dari sekian lembaga wakaf yang
bisa menjadi model bagi pengembangan lembaga pendidikan berbasis wakaf.
Sifat lembaga wakaf yang lebih berorientasi keagamaan,
di satu sisi, dan tidak produktif di sisi lain, dapat ditelusuri dari bagaimana
kerangka hukum fikih yang dipahami masyarakat, bentuk pengelolaan lembaga wakaf
dan peran negara dalam mendorong wakaf untuk tujuan produktif dan membangun
inisiatif keadilan sosial.
Hasil temuan survei ini mengkonfirmasi bahwa kerangka
fikih wakaf yang dianut masyarakat lebih dekat dengan bangunan fikih Mazhab
Syafi’i yang lebih kaku dalam memahami berbagai persoalan wakaf. Dalam hal
wakaf uang, misalnya, mazhab ini cenderung berkeberatan karena uang dianggap
tidak lestari dan cepat habis. Wakaf uang sesungguhnya telah eksis sejak
beberapa abad silam di beberapa negara Muslim seperti Turki. Namun di
Indonesia, baru tahun 2002, wakaf uang dibolehkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
Walaupun lebih berlandaskan Mazhab Syafi’i, studi ini
menemukan bahwa masyarakat terutama pengelola wakaf, pada tingkat tertentu,
lebih terbuka untuk membangun perspektif fikih yang lebih adaptif dengan
perubahan. Mereka umumnya memandang positif pembaruan fikih wakaf. Mereka
setuju dengan pandangan fikih kontemporer yang membolehkan wakaf uang (cash
waqf). Meskipun demikian, para nazhir masih ragu-ragu terkait dengan
perlunya penukaran harta wakaf dengan yang lebih produktif serta perubahan
peruntukan wakaf untuk tujuan kemaslahtan yang lebih besar. Selain itu, praktik
penukaran wakaf dan perubahan peruntukannya masih belum populer. Kenyataan ini
menunjukkan keinginan untuk mengadopsi pembaruan fikih wakaf kontemporer mulai
muncul. Namun para nazhir masih kuat memegang prinsip kehati-hatian sehingga
mereka cenderung menutup ruang bagi pengembangan harta wakaf secara produktif.
Selain aspek fikih di atas, manajemen lembaga wakaf
manjadi bagian yang paling krusial dalam memahami persoalan wakaf. Manajemen
wakaf berkaitan dengan nazhir selaku pengelola wakaf, sistem pengelolaan wakaf,
dan akuntabilitasnya. Hasil survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga
wakaf dikelola oleh perseorangan (66%) dan selebihnya dikelola oleh nazhir
organisasi dan badan hukum. Dibandingkan nazhir wakaf perseorangan, dalam
berbagai aspek, ditemukan bahwa pengelolaan wakaf berbasis organisasi dan badan
hukum secara umum lebih memungkinkan untuk diupayakan ke arah pengembangan
wakaf keadilan sosial. Hal ini disebabkan adanya fakta dimana mayoritas
pengelola wakaf yang notabene nazhir perseorangan bekerja paruh waktu
(84%) dan tidak mendapat imbalan. Di samping itu, pola penunjukan nazhir yang
dominan adalah berdasarkan unsur kekerabatan. Dengan realitas lembaga wakaf
seperti ini, tentu amat sulit menuntut dikembangkannya lembaga wakaf yang
profesional dan akuntabel. Pengelolaan berbasis kekeluargaan seperti yang
terjadi di pesantren-pesantren, menyulitkan pemisahan antara aset pimpinan
pesantren dan aset publik. Melihat benang kusut ini, yang bisa dilakukan adalah
seperti yang terjadi di Pondok Modern Gontor dengan menjadikan pesantren
sebagai badan wakaf publik.
Sementara itu, berkaitan dengan akuntabilitas lembaga
wakaf, hampir seluruh lembaga wakaf telah melakukan pengelolaan dan pelaporan
kerja organisasi termasuk pelaporan keuangan mereka meski dalam bentuk yang
paling sederhana. Pengumuman pelaporan keuangan melalui papan pengumuman masjid
merupakan yang paling banyak dilakukan. Sedangkan pelaporan melalui media lain
seperti media cetak dan elektronik hanya dilakukan oleh segelintir lembaga
wakaf.
Aspek lain yang perlu ditinjau berkaitan dengan
permasalahan wakaf adalah kepastian hukum dan perundang-undangan wakaf. Saat
ini telah lahir UU Wakaf No. 41 tahun 2004 dengan tujuan pokok untuk mendorong
kemajuan pengelolaan wakaf di Indonesia. Terhadap kelahiran undang-undang ini,
sebagian besar nazhir memandang positif bahwa UU ini dapat memberikan kepastian
hukum dan memperkuat lembaga wakaf. Di samping itu, UU ini juga bisa mendorong
masyarakat untuk berwakaf. Selain memiliki persepsi positif dengan hadirnya UU
wakaf tersebut, sebagian besar juga mendukung keberadaan Badan Wakaf Indonesia
(BWI) yang saat ini sedang dirintis pembentukannya. Badan ini diharapkan mampu
menjamin terciptanya kemajuan pengelolaan wakaf untuk kegiatan produktif di
satu sisi dan peningkatan fungsi pelayanan sosial keagamaan di sisi lain.
Dengan realitas wakaf di Indonesia seperti
digambarkan di atas, memang masih sulit mengharapkan peningkatan peran wakaf
seperti di Mesir, Kuwait, dan Turki, yang memiliki tradisi wakaf yang kuat.
Namun, ditilik dari potensi wakaf di tanah air, wakaf menyimpan potensi yang
besar untuk dikembangkan menjadi aset produktif, yang pada akhirnya tidak saja
mampu menghidupi pelayanan sosial-keagamaan, tetapi juga diarahkan untuk
mendukung berbagai inisiatif dan tujuan keadilan sosial.
Berdasarkan
studi mengenai potensi dan permasalahan wakaf di Indonesia, beberapa hal
berikut seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak dalam pengelolaan wakaf. Pertama,
perhatian yang lebih besar bagi pemberdayaan wakaf yang belum produktif,
yang mayoritas berbasis masjid dan lembaga pendidikan serta memberdayakan wakaf
yang masih terlantar. Kedua, peningkatan sumber daya manusia (SDM)
nazhir berkaitan dengan persoalan manajemen dan profesionalisme serta keahlian
mengoptimalkan potensi ekonomi wakaf perlu menjadi prioritas. Ketiga, bersama-sama
dengan lembaga nasional dan internasional penting memikirkan upaya pengembangan
ekonomi wakaf dengan membuka jalur investasi pada wakaf yang strategis dan
potensial. Keempat, hendaknya membangun kepercayaan publik (public
trust) dengan meningkatkan standar akuntabilitas dan transparansi lembaga
wakaf. Kelima, pembuatan regulasi wakaf hendaknya didorong untuk
mendukung pengembangan wakaf untuk tujuan keadilan sosial.
-----------
Terima Kasih -----------
Referensi :
http://www.csrc.or.id CSRC uin jakarta